Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

Akhir-akhir ini saya sering tergelitik melihat iklan di media massa, khususnya televisi. Beberapa konten iklan yang saya maksud adalah konten yang di luar dari konteks yang pahami masyarakat secara umum. Lihat saja iklan nutrisari versi w'dank sarabba. Iklan ini sebenarnya ingin menyampaikan ke penonton mengenai produk terbaru dari nutrisari dengan cita rasa sarabba.

Mungkin ada yang bertanya sarabba itu minuman apa? asalnya dari mana? Sarabba ini minuman khas dari Sulawesi Selatan (Sul-Sel) yang terbuat dari jahe, santan dan gula merah. Jadi, semacam wedang jahe. Namun, bagi masyarakat Sulawesi Selatan sebagian besar tidak mengenal istilah wedang untuk minuman dengan tambahan jahe tersebut, kecuali pernah ke tanah jawa atau sekedar tahu melalui media massa.

Hal ini yang ingin saya bahas ini bukan tentang bagaimana cita rasa sarabba itu. Tetapi, bagaimana iklan wedang sarabba itu cukup menggelikan beberapa teman saya yang berasal dari Sul-Sel ataupun mungkin masyarakat SulSel itu sendiri. Dalam satu pertemuan dengan beberapa teman dari SulSel iklan ini menjadi bahan candaan. Bagaimana tidak, iklan  diakhir dengan tagline "wedaaang sarabaaaaaa" ini sangat berdialek Jawa. Sangat kontras dengan dialek orang asal minuman khas sarabba dengan dialek penekanan dengan huruf "bba"... Saya juga pernah membahas ini dengan salah satu teman melalui media sosial, ternyata ia juga memberikan tanggapan yang sama dengan teman yang lain yang mengatakan bahwa iklan tersebut sangat lucu dan unik.

Saya tidak bermaksud me-dikotomi jawa dan luar Jawa. Pada intinya kita adalah Indonesia. Pembuat iklan mungkin tidak bermaksud mensugesti penonton dengan me-jawa-nisasikan segala hal yang ada di Indonesia. Hal ini bisa saja dilakukan oleh pembuat iklan dengan maksud menyasar segmentasi penonton di Pulau Jawa. Tapi, kenyataannya televisi swasta ditonton jutaan rakyat Indonesia. Mungkin saja akan dikonsumsi juga oleh jutaan orang Indonesia bukan hanya di Pulau Jawa.

Meskipun dalam teori kultivasi yang ditulis George Gebner menjelaskan isi media dapat mempengaruhi pemikiran kognitif penonton. Gillian Dyer mengungkapkan iklan menggunakan pelbagai hal dari dunia nyata dari masyarakat dan sejarah lalu menatanya  untuk karyanya sendiri. Dengan melakukan hal itu iklan membuat bingung dunia nyata dan mencabut pemahaman apapun  dari kita tentang dunia nyata. Kita diundang  untuk menjalani kehidupan tidak nyata melalui iklan. Wacana iklan secara kontradiktif menempatkan konteks ini dalam kaitan wacana lain secara khusus dalam kaitannya dengan posisi ekonomi dan politik. 

Di sisi lain, saya hanya melihat ini sebagai fenomena bahwa seringkali perspektif digunakan dalam ranah yang kurang tepat. Padahal mestinya konteks ini dapat dimanfaatkan oleh pembuat iklan untuk menciptakan kebanggaan bagi masyarakat SulSel karena cita rasa minuman khas daerah mereka dijadikan brand yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Harusnya pembuat iklan dapat melihat akar kultural sebelum mendesain produk tertentu. Apalagi dalam konteks minuman instan, produk ini bisa menjadi pilihan bagi masyarakat SulSel yang ada di tanah rantau.

Referensi:
Myers, Kathy.2012. Membongkar Sensasi dan Godaan Iklan.Yogyakarta: Jalasutra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis