Menjadi Manusia Hiper Realitas

Saat ini setiap informasi mudah di dapat melalui berbagai media. Dengan berbagai jenis pemberitaan. Mulai dari yang sekadar opini sampai akun anonim. Dari informasi yang benar hingga berbau sara. Semua tersedia. Kita seolah tidak memiliki kemampuan untuk mengolah mana yang benar mana yang salah. Pemahaman ini tergantung bagaimana referensi yang dimiliki setiap individu. 

Informasi seperti bola salju yang siap menggilas siapa saja yang tidak mampu menghadapi badai informasi. Setiap orang seolah bebas mengupload informasi dan menyebarkan berita bohong. Foto korban mengenaskan, pasien penderita tumor, pornografi dan gambar horor mudah ditemukan di media sosial dengan gambar sangat detil. 

Apalagi adanya iklan dengan sensasi yang sangat luar biasa. Suatu malam, saya asyik online menggunakan media sosial. Tiba-tiba muncul sebuah iklan dengan gambar Michael Jackson dengan wajah yang menurut saya sangat menyeramkan. Saya pun bergegas menutup akun karena ngeri melihat foto artis yang telah meninggal empat tahun lalu itu.

Belum lagi, seseorang dengan mudahnya mengupload gambar rokok beserta mereknya melalui media sosial. Padahal dengan jelas ada larangan iklan rokok dalam PP No.109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Tapi, di media sosial gambar apapun seolah dilegalkan dan tidak dikenakan sanksi apapun. 

Kita benar-benar dihadapkan pada  suatu hyper realitas informasi. Hiper realitas yang dimaksud digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiper realitas menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi  membedakan antara kebenaran dan kepalsuan isu dan realitas. 
doc:elvigto.wordpress.com

Berkembangnnya hiper realitas media tidak terlepas dari perkembangan teknologi media yang disebut teknologi simulasi (simulation technology). Simulasi,  sebagaimana yang dijelaskan oleh Baudrillard dalam Simulations adalah “... penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau referensi realitas.” 

Inilah yang bisa menjelaskan bahwa  setiap orang bebas memberikan pendapat, mengupload gambar hingga menuliskan hal-hal pribadi di media sosial atau di blog pribadi. Tak ada batas dan tak ada larangan selama tidak ada orang yang merasa dirugikan. Jika kita tidak memahami untuk apa teknologi ada, maka kita akan menciptakan simulasi bagi orang lain dan  menjelma menjadi manusia hiper realitas.




Referensi:
Piliang, Yasraf Amir.2010. Post Realitas Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra halaman 75-76

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis