Dilema TVRI, Afiliasi Politis


Enam belas April 2003 pemerintah akhirnya meresmikan status TVRI sebagai perusahaan jawatan menjadi perseroan terbatas. Perubahan status ini di satu sisi bisa jadi merupakan solusi bagi TVRI yang dihadapkan pada problem finansial sangat serius. Namun di sisi lain muncul persoalan karena UU penyiaran no. 32 tahun 2002 pasal 14 secara tegas menetapkan status TVRI sebagai penyiaran publik.
Lembaga penyiaran publik didefinisikan melalui tujuan yang dicapai, yaitu meningkatkan kualitas hidup publik, secara khusus meningkatkan apresiasi terhadap keanekaragaman yang ada di tengah masyarakat dengan harapan menciptakan kehidupan yang harmonis diantara komunitas yang berbeda (living in colors).
Dalam buku mass communication theory (2000:157), McQuail membagi enam fungsi penyiaran publik, yaitu (1) media penyiaran publik secara universal menjangkau seluruh wilayah geografis (2) media penyiaran harus menyajikan keberagaman selera, kepentingan dan kebutuhan  dan juga keberagaman pendapat dan kepercayaan (3) harus melayani kelompok-kelompok minoritas (4) memberi perhatian  terhadap budaya nasional, bahasa dan identitas bangsa (5)media penyiaran melayani kebutuhan sistem politik dengan menghargai prinsip yang berimbang, imparsial terhadap isu-isu konflik (6) media penyiaran publik memberikan perhatian khusus kepada publik.
Secara sederhana ruang publik merupakan terjemahan ‘public sphere” dapat dipahami sebagai ruang yang terletak di anatar komunitas ekonomi dan negara tempat publik melakukan diskusi yang rasional, membentuk opini mereka serta menjalankan pengawasan terhadap  pemerintah (Habermas, 1993). Habermas mengemukakan tiga prinsip utama bagi ruang publik. Pertama, akses yang mudah terhadap informasi. Kedua, tidak ada perlakuan istimewa (privilege) terhadap peserta diskusi. Ketiga, peserta mengemukakan alasan rasional dalam berdiskusi mencari konsensus (Touluse, 1998) dalam (Saleh 2004:54)
Public sphere melihat media sebagai unsur sentral dari public sphere yang sehat. Media menjadi wadah yang leluasa bagi berbagai gagasan-gagasan, opini dan pandangan. Perspektif Public sphere menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat tidak bisa semuanya didapatkan melalui sistem pasar. Karena pasar didasarkan pada consumer purchasing power. Perspektif Public sphere  ini meletakkan khalayak sebagai citizens dari dari konsumers (Halomoan 2005:80-83)
Di dalam disiplin ilmu komunikasi, ruang publik banyak dikaji dalam kaitannya dengan peran media massa sebagai sarana pendemokrasian warga. Konsep ini menjadi dasar konseptual dalam penyusunan rekomendasi mengnai upaya-upaya struktural dan diskursif yang perlu dilakukan oleh sistem media yang demokratik (Has, 2004). Belakangan, terdapat banyak karya yang bekenaan dengan gerakan pembaharuan junalisme publik dan kewargaan dengan menerapkan standar normatif karya Habermas untuk mengidentifikasi peran dan tanggung jawab jurnalis dalam masyarakat demokratis (Hass, 2004). Dari hasil tinjauan literatur mengenai penelitian komunikasi politik di Indonesia Gazali (2004) sebagaian besar penelitian komunikasi politik berkaitan dengan media massa (sistem media demokratis, peranan media dan penggunaan dan efek media, konstruksi  realitas media dan proses-proses politik dan interaksi antara kelompok kepentingan dan lain-lain yang terkait dengan isu agama, etnis dan rumor) dan tidak ada yang memberi perhatian komunikasi politik di tingkat masyarakt biasa (ordinary people) atau akar rumput (grass root)( Sarwoprasodjo 2007:14)
Mengutip David Marquand hal yang sentral bagi konsepsi ruang publik adalah nilai-nali kewargaan, persamaan, pelayanan dan kepentingan umum. Nilai-nilai ini yang perlu dihadirkan media guna membentuk watak kultural masyarakat. Namun di sisi lain, media juga istitusi ekonomi yang berdasarkan rasionalitas bisnis. Orang mendirikan media bukan hanya karena idealisme tetapi juga karena pertimbangan akumulasi modal. Sebagaimana entitas bisnis lainnya, media harus tunduk pada hukum-hukum ekonomi. Maka tidak mengherankan jika rasionalitas strategis menjadi determinan dalam dunia media (Sudibyo 2009:5).
Menurut Kitley, TVRI berlandaskan pada apa yang disebut McQuail (1993:131) sebagai “teori media pembangunan”. Yakni pemberitaan yang bertumpu pada tujuan-tujuan berikut: (1) pengutamaan tugas pembangunan (ekonomi, sosial, budaya dan politik) nasional, (2) mengejar kemandirian informasi dan budaya, (3) mendukung demokrasi dan (4) setia kawan pada negara-negara lain yang sedang membangun (Sudibyo 2004:284).
doc:wikipedia.org
Menurut Undang-undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran pada pasal 14 ayat (1) ditegaskan bahwa lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga penyiaran publik yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah RRI dan TVRI.
Jika merujuk pada pasal 14 itu menjelaskan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik seharusnya berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Status perseroan terbatas akan menimbulkan banyak konsekuensi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip lembaga penyiaran publik. TVRI mau tak mau akan berorientasi pasar dengan konsekuensi harus menonjolkan tayangan-tayangan yang dapat menghasilkan rating tinggi, menarik iklan sebanyak-banyaknya serta menghasilkan akumulasi modal secepat mungkin. Kepentingan-kepentingan publik dan komunitas tak akan mendapatkan prioritas lebih. TVRI akan sepenuhnya bersandar pada pendapatan iklan.Sementara menurut UU penyiaran no.32 tahun 2003, sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik terutama berasal dari iuran pendapatan dan belanja daerah, anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat (Sudibyo 2007:317)
Gagasan mengenai ruang publik dan opini publik menjadi semakin penting untuk pembuatan kebijakan saat ini bertepatan dengan pandangan skeptis dari analisis kebijakan publik. Von Beyme seperti dikutip Lang (2004) menganjurkan agar tidak selalu menekankan  relevansi strategi berorientasi media dari aktor politik dalam proses pembuatan kebijakan. Proses politik rutin terpisah dari ruang publik. (Sarwoprasodjo 2007: 13)
Sebenarnya yang pertama harus diketengahkan dalam wacana seputar penyiaran bukanlah apa yang menjadi kepentingan publik, tetapi bagaimana secara demokratis dan rasional publik sendiri bisa menyelenggarkan wacana untuk mendefinisikan  apa yang menjadi kepentingan mereka-tanpa adanya dominasi intervensi negara dan pasar.
Menurut Kriesi (2004) ruang publik menyangkut seluruh setting atau situs yang terbuka terhadap khalayak yang luas, dimana komunikasi politi antara aktor politik yang terorganisir dengan warga dan di antara mereka sendiri terjadi. Komunikasi politik dalam ruang publik dapat dipahami sebagai proses membangun agenda (McCombs and Shaw 1972, Lang dan Lang 1983) dimana aktor politik, media dan khalayak warga saling mempengaruhi dengan menyajikan informasi, tuntutan, kepentingan-kepentingan dan dan argumen-argumen (Sarwoprasodjo 2007: 16)
Di sisi pendanaan, terdapat banyak varian yang membedakan lembaga penyiaran publik di berbagai negara. ABC Australia didanai dengan dana publik melalui alokasi penghasilan pajak penyelenggara siaran yang tak tergantung pada sektor negara dan swasta. BBC dan NHK bahkan tak tergantung lagi pada pemerintah, karena didanai oleh uang pembayaran lisensi. Penyelenggaraan siaran publik di Denmark, Norwegia dan Swedia didanai dengan cara yang sama (Siune 1986;46) dalam (Sudibyo 2004:290)
Berbeda dengan TVRI, dengan adanya beban berat yang harus dipikul TVRI akibat pergeseran politik yang terjadi adalah subsidi dari pemerintah yang kian lama kian surut karena berbagai alasan. Perubahan status TVRI justru memperkuat alasan pemerintah untuk memperlakukan TVRI layaknya stasiun televisi swasta sehingga tidak perlu diberi subsidi. Pada tahun 2010 dalam setahun TVRI membutuhkan dana sebanyak Rp 1,5 triliun setahun  untuk beroperasi secara optimal dan lebih profesional. Nyatanya, TVRI hanya menghabiskan dana Rp 576 milyar pada tahun tersebut (dilansir tempo.co)
Penerimaan TVRI dan sumber-sumber pendanaan potensial, akhir-akhir memang ini memprihatnkan. Dana APBN terealisasi hanya sekitar 10 persen dari kebutuhan yang diajukan, iuran penyiaran tersendat dan kontribusi 12,5 persen dan penghasilan iklan stasiun televisi swasta juga mengalami hambatan, karena landasan hukum pembentukan dana-dana tersebut bagi TVRI yang diatur oleh undang-undang penyiaran lama. Contohnya saja dalam APBN 2008, TVRI hanya mendapat dana Rp 264 miliyar. Dengan pembagian, RP 64 miliar diantaranya untuk pembangunan pemancar di Kebun Jeruk dan Rp 200 milyar untuk operasional yang dibagi dengan puluhan TVRI daerah. Padahal TVRI sebagai lembaga penyiaran publik memerlukan dana operasional sebesar Rp1,5 triliun per tahun untuk beroperasi secara optimal dan lebih profesional. 
A. TVRI dan Pemerintah
Sejak kelahirannya, TVRI berperan sentral dalam setiap kegiatan komunikasi pemerintah. Dari sekadar medium mendokumentasikan sejarah, TVRI pada akhirnya lebih berperan sebagai alat propoganda pemerintah. Latar sejarah yang demikian ini membuat TVRI selaku lembaga penyiaran publik tak bisa berfungsi optimal karena lebih sering digunakan  untuk sosialisai dan propaganda politik ke luar dan dalam negeri, konsolidasi pemegang kekuasaan, dan monopoli informasi oleh pusat, Jakarta. Terjadilah  monopoli informasi yang kelak mempunyai implikasi luar biasa terhadap proses demokratisasi ranah penyiaran dan kehidupan pers pada umumnya (Sudibyo 2004:98).
Sejarah televisi di Indonesia adalah sejarah pergumulan antara kekuasaan, kekuatan modal dan kaum profesional. Pada akhirnya dapat dilihat bahwa sejarah itu berpangkal dari satu dominasi politik dan berujung pada suatu oligopoli. Bicara pertelelevian Indonesia bermula dari  TVRI yang mengemban tugas menyuarakan eksistensi dan identitas kebangsaan sebagai televisi publik.
Pada zaman Orde lama televisi adalah medium yang tepat untuk memperkenalkan bangsa Indonesia ke dunia luar, sekaligus simbol untuk mengangkat citra bangsa Indonesia sejajar dengan negara-negara lain. Soekarno, terutama berambisi untuk menandingi Jepang yang telah menguasai teknologi televisi sejak 1950-an. Pada zaman orde baru tugas TVRI sebagai alat komunikasi pemerintah dengan menyampaikan kebijakan pemerintah kepada rakyat dan pada waktu yang bersamaan menciptakan two-way trrafic dari rakyat untuk pemerintah selama tidak mendiskreditkan usaha-usaha pemerintah. TVRI kemudian menjelma menjadi satu-satunya media penyiaran yang menjadi instrumen politik pemerintah. Alih-alih menjadi televisi publik, pada era Orde baru, TVRI menjelma menjadi televisi pemerintah yang berfungsi menyampaikan suara serta menjadi alat propaganda pemerintah dan bukan sebagai juru penerang masyarakat (Armando, 2011:73)
Pergeseran politik tahun 1998 menimbulkan dilema besar. Reformasi tidak melepaskan TVRI dari pengaruh dan intervensi pemerintah. Siaran TVRI memberikan keistimewaan dengan menayangkan Konvensi Partai Demokrat dalam siaran tunda selama dua jam pada Minggu (15/9/2013), pukul 22.30 sampai 24.30 WIB memberikan kesempatan kepada partai demokrat untuk kampanye partai melalui konvensi tersebut. Dengan adanya tayangan tersebut TVRI terbukti melanggar UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tepatnya Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (4) tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) KPI Tahun 2012, terutama P3 Pasal 11 dan Pasal 22 Ayat (1), (2), dan (3) serta SPS Pasal 11 Ayat (1) dan Pasal 40 huruf (a). Sebagai lembaga penyiaran publik TVRI melakukan pelanggaran dengan adanya penayangan isi siaran tentang konvensi Partai Demokrat yang tidak berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik, yaitu prinsip keberimbangan dan tidak memihak. Sebagai lembaga penyiaran publik TVRI tak berpegang asas perlindungan kepentingan publik yang bersifat independen dan netral (dilansir tribuntimur.com)
B.   TVRI dan Partai Politik
Gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah memberikan warna tersendiri terhadap kondisi politik nasional. Mobilitas politik massa lahir ke permukaan dengan warna-warni yang berbeda. Wajah perpolitikan secara nasional berubah drastis setelah sebelumnya dalam kurun waktu 32 tahun terbungkam dalam kebijakan politik Orde Baru yang sarat akan nuansa otoriter dan monopolitik. Seperti sebuah saluran pipa air yang sudah lama tersumbat lalu kemudian terbuka lebar, maka dibutuhkan wadah penampungan untuk menampung tumpahan air tersebut akan tidak terbuang sia-sia. Agar mampu menampung aspirasi publik yang beraneka ragam tersebut, maka wadah-wadah politik baru pun kemudian bermunculan dalam bentuk parpol. Dengan bermunculannya partai-parpol baru, maka berakhirlah era monopolitik yang menjenuhkan dan melaju ke arah perpolitikan yang bebas dan demokratis.
Pertumbuhan parpol ini memberi harapan baru bahwa keberadaan mereka dapat menjadi katalisator yang positif bagi peningkatan aspirasi politik masyarakat dalam kehidupan berpolitik. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya parpol mendekatkan dirinya dengan calon konstituen yang ada di tingkat masyarakat. Artinya, sebuah parpol harus mampu berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita politik dan kepentingan yang sama dalam kerangka memperoleh kekuasaan.
Salah satu tugas berat bagi sebuah parpol adalah bagaimana partai tersebut bisa diterima oleh masyarakat. Permasalahan ini sangat krusial, karena hal ini menjadi langkah awal bagaimana partai harus menanamkan citranya sebagai organisasi politik dalam benak masyarakat. Mengelola persoalan ini bukan tugas yang sederhana dan mudah. Mempublikasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai partai membutuhkan penanganan yang khusus mengingat bahwa parpol memiliki dinamika yang tidak mudah diduga. Salah satu media yang paling  luas dalam menjangkau publik adalah televisi, dengan demikian menggunakan televisi sebagai sarana untuk melakukan komunikasi politik kepada konstituen adalah sebuah keniscayaan bagi partai politik.  

Dengan siaran yang mampu menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, tentunya bukan harga murah untuk dapat menjalankan komunikasi politik melalui TVRI. Bagi parpol, calon anggota DPR maupun para peserta pemilukada serta pilpres,  dibutuhkan belanja iklan yang tidak sedikit. Sebagai pertimbangan, berdasarkan hasil survei The Nielsen pencapaian belanja iklan untuk katagori pemerintah dan partai politik memang mengalami kenaikan luar biasa hingga 269% atau mencapai Rp 1,065 triliun pada kuartal I-2009 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Khusus untuk belanja iklan parpol (kuartal I-2009), posisi Partai Golkar menempati  posisi teratas dalam membelanjakan iklan mencapai Rp 185,153 miliar. Kemudian disusul oleh Partai Domokrat dengan belanja sebanyak Rp 123,056 miliar, sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Partai Gerinda sebesar Rp 66,716 miliar.

Jika dilihat dari katagori tempat memasang iklan untuk di televisi, jumlah spot partai Demokrat menempati posisi teratas yaitu 6.531 kali, diikuti Golkar 6.026 kali, Gerinda 2.342 kali, PDI Perjuangan 1.764 kali dan lain-lain. The Nielsen mencatat belanja iklan dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan misalnya saja pada tahun  2005 hanya mencapai Rp 25,57 triliun, tahun 2006 naik menjadi Rp 30,01 triliun, tahun 2007 naik kembali menjadi Rp 35,08 triliun dan tahun 2008 tembus keangka Rp 41,705 triliun. Dari hasil riset tersebut nampak jelas bagi parpol untuk dapat beriklan dibutuhkan biaya yang sangat besar.
 Menurut Herman (1993), kegiatan komunikasi politik dengan menggunakan televisi akan berimbas pada. Pertama, Karena biaya yang dikeluarkan oleh partai politik atau politikus untuk beriklan sangat banyak, maka hal ini menyebabkan terkikisnya karakter demokrasi yang ditandai dengan adanya pembatasan yang terjadi di dalam organisasi untuk hanya mencari orang-orang yang kaya dan siapa saja yang mau melayani orang yang kaya. Kedua, melemahkan karakter politik demokrasi dengan memusatkan dan menasionalisasikan politik. Dengan adanya media penyiaran membuat partai politik dapat dengan mudah menyampaikan pesan politik mereka secara luas, tanpa harus hadir dalam suatu kelompok maupun ditengah-individu. Akibatnya, individu menjadi lebih terisolasi, partisipasi politik cenderung menjadi turun, dan ide tindakan sosial kolektif menjadi lemah. Ketiga, adanya biaya dan kepentingan TV dengan menempatkan bayaran pada tempat (spot) yang diproduksi dan dikemas secara elegan dan baik sesuai dengan pesanan (Triyono 2011: 10-12)

Dengan adanya siaran konvensi tdemokrat di TVRI dengan durasi 2,5 jam memberikan kesempatan kesempatan kepada partai tersebut untuk mengkampanyekan partainya. Apalagi adanya kemampuan TVRI untuk menjangkau hingga ke pelosok Indonesia. Sebuah rezim politik yang berkuasa tanpa atau dengan melibatkan publik diyakini akan menerapkan mekanisme untuk mengatur  informasi yang beragam dari media demi mempertahankan struktur sosial yang ada. Hal ini secara langsung ataupun tidak langsung pemerintah akan melakukan aktivitas  pengaturan dan pengendalian untuk menekan ide-ide yang dapat mengganggu berjalannya sebuah sistem. Ada proporsi yang menyatakan seluruh  pemerintah akan memiliki kepentingan  utama dalam mempertahankan  statatus quo mereka  melalui beragam cara. Intervensi birokrasi negara terhadap dunia penyiaran bersifat sangat khas dibandingkan  media cetak (Masduki 2007:58)

Hal inilah yang dilakukan partai demokrat sebagai partai penguasa di negeri ini sejak pemilu tahun 2004. Partai ini menggunakan saluran publik untuk kepentingan partai yang bertentangan dengan konsep ruang publik yang dikemukakan oleh Habermas. Harusnya, ruang publik memberikan kesempatan agar masyarakat tidak pasif terhadap informasi yang diterima. Selain itu, masyarakat diberi kesempatan berinteraksi langsung dengan anggota masyarakat lain dan yang lebih penting berinteraksi dengan penyebar informasi. Tingkat partisipasi seperti ini tidak terjadi pada komunikasi massa. Dengan pendekatan Habermas, kedua fungsi ini seharusnya berjalan seiring. Integrasi sosial harus semakin rasional melakukan penyesuaian atas berbagai tuntutan sistem. Misalnya, diskursus politik harus dikompromikan dengan pertimbangan teknis bisnis media (kebebasan semu).  
Pemikiran Habermas tentang masyarakat dapat ditemukan dalam buku The Theory of Communicative Action. Habermas memandang Tidak semua aspek dalam dunia pers dan penyiaran dapat diserahkan pengaturannya pada imperatif-imperatif bisnis dan birokrasi. Beberapa aspek penyiaran harus diserahkan pengaturannya kepada mekanisme dan sudut pandang masyarakat. Sistemisasi juga harus dilakukan secara legitimate. Sebuah sistem tidak dapat berjalan dengan cara-cara pemaksaan semata dan harus dijalankan karena benar-benar dibutuhkan masyarakat (Sudibyo 2009:5-6).
Namun, satu sisi media adalah institusi sosial yang memfasilitasi masyarakat menjalankan diskursus sosial. Dalam negara hukum demokratis, media adalah struktur intermedier yang secara komunikatif menjebatani hak-hak politik-ekonomi warga negara dengan realitas penyelenggaraan kekuasaan. Media adalah ruang publik politis yang berfungsi sebagai sistem alarm sosial yang mengidentifikasi problem-problem sosial serta memediasi keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dengan sisitem ekonomi politik.
Sebenarnya Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran adalah upaya mendudukkan kembali media penyiaran sebagai bagaian dari eksistensi masyarakat sebagai ruang publik-komunikatif, tanpa menegasikan pentingnya intervensi sistem bisnis dan birokrasi dalam mereduksi kompleksitasnya. UU penyiaran merupakan upaya menyeimbangkan rasionalitas sasaran dan rasionalitas komunikatif sebagai penggerak ranah media. Spirit dasar UU penyiaran adalah mengeliminasi kolonisasi ruang publik media itu. UU penyiaran adalah upaya transisi dari kekuasaan negara (state based powers) menuju kekuasaan publik (public-based powers). Intervensi pemerintah terhadap ranah media diminimalisasi. Kontrol terhadap media diletakkan kepada masyarakat.
Media memiliki tugas penting dan pokok dalam masyarakat kontemporer. Sistem media yang yang beroperasi menurut sistem pemerintahan  yang juga mengatur masyarakat terutama yang berkaitan dengan keadilan, kebenaran, demokrasi dan gagasan yang mengatur sosial dan budaya yang diinginkan. Secara jelas menurut kepentingan publik bahwa media tidak menyebabkan masalah sosial maupun serangan ekstrim. Akan tetapi, ide mengenai kepentingan publik juga melibatkan pengharapan positif sebagaimana pengharapan bidang yang asli.
Namun, gagasan sederhana ini tidak membawa kita ke dalam praktik yang nyata. Masalah pertama yang dihadapi adalah bahwa kontrol publik, bahkan dalam kepentingan publik dari semua media tidak konsisten dengan kebebasan berekspresi sebagaimana yang dipahami. Terlebih lagi media biasanya dibangun tidak hanya untuk melayani kepentingan publik semacam itu, tetapi untuk mengikuti tujuan yang mereka tetapkan sendiri. Tujuan ini terkadang berkaitan dengan hal budaya, profesional atau politik, tetapi tujuan utamanya adalah membuat bisnis  yang menguntungkan. Terkadang tujuan tersebut dipakai dua-duanya. Selain ada beragam versi yang saling bertentangan mengenai apa yang baik dalam masyarakat dan ada juga dukungan terhadap pandangan bahwa lebih baik media tidak mengejar tujuan normatif apapun. Kesulitan dalam menangani konsep kepentingan publik selalu berkaitan dengan signifikansi yang tinggi.  
Dalam hal ini, Blumler (1998) membuat tiga poin kunci. Pertama, kekuatan media harus digunakan dengan cara yang sah yang tidak jauh dari gagasan mengenai tanggung jawab. Kedua, Blumer berpendapat kualitas hebat terlekat pada gagasan mengenai keentingan publik. Ketiga, gagasan mengenai kepentingan pblik harus  bekerja dalam dunia yang tidak sempurna dan tidak murni. Hal ini berarti akan ada tekanan, kompromi dan improvisasi menurut kondisi yang terjadi (McQuail 2012:180-181). 
C.  TVRI Terancam Diblokir
Adanya penayangan Konvensi Demokrat tersebut siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI), kini kian berada di ujung tanduk. Bahkan, stasiun televisi pertama di Indonesia ini, terancam tak lagi bisa menyiarkan berbagai program untuk masyarakat. Betapa tidak, Komisi I DPR RI resmi memblokir pencairan dana kegiatan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI pada 21 Novembber 2013 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) tahun 2014. Pimpinan DPR sudah mengeluarkan surat bernomor AG/12755/DPR RI/XII/2013, tertanggal 16 Desember 2013, yang ditujukan kepada Kementerian Keuangan RI. Surat tersebut, berisi permintaan agar Kemenkeu RI menindaklanjuti hasil rapat internal Komisi I DPR terkait pemblokiran pencairan dana operasional LPP TVRI pada tahun depan (dilansir tribun timur.com).  
Hal ini terlihat dengan masih kuatnya dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan TVRI.  Akibatnya, lembaga penyiaran milik negara ini terancam tidak akan siaran. DPR memberi tanda bintang untuk anggaran tahun 2014 TVRI senilai Rp 1,3 triliun sebagai bentuk sanksi terhadap keputusan Dewan Pengawas (Dewas) yang melakukan pemecatan sepihak terhadap sejumlah direksi TVRI. Tindakan ini terkait kekesalan DPR dalam kisruh TVRI. Terlebih lagi, belakangan muncul isu jika ada sejumlah anggota DPR yang dituding meminta uang kepada televisi plat merah itu.
Hubungan media massa dan politikus memang bersifat mutual-simbiosis (saling memerlukan). Para pemain politik berlomba-lomba untuk membangun citra politiknya melalui berbagai media. Namun di sini bukan tidak mungkin bahwa lawan politik juga menggunakan media komunikasi sebagai sarana untuk menjatuhkan lawan politiknya, serta publik netral yang ingin menggambarkan dunia politik maupun citra politik seseorang dan atau organisasi politik menurut sudut pandangnya. Media memerlukan berita politik dan politikus dapat menjadi objek berita (factual news) atau narasumber berita (talking news). Politikus, baik sebagai manusia (human interest) maupun sebagai pekerja politik dengan seluruh aktivitasnya komentar dan perilakunya memang merupakan objek berita yang menarik. Itulah sebabnya para pemimpin politik yang ada di pemerintahan (presiden, wakil presiden, menteri, gubernur dan bupati) dan pemimpin partai politik  yang semuanyya disebut politikus selalu menjadi objek dan subjek yang aktual bagi media massa. Hal tersebut dipahami karena di tangan para politikus itu akan lahir banyak keputusan politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Justru itu, seluruh kegiatan para politikus memang selalu aktual dan diminati oleh khalayak terutama khalayk politik. Itulah sebabnya aktivitas politik para politikus menarik untuk diliput dan disiarkan oleh media massa (Arifin 2003:103-104)
Dengan adanya kasus ini semangat yang mengusung perubahan status TVRI menjadi sebuah lembaga penyiaran publik, yang menganut paradigma pengelolaan ke arah yang lebih pro-publik sangat jauh dari harapan. Jika sebelumnya penyiaran TVRI dianggap sebagai “corong” atau “alat propoganda” dari pemerintah yang berkuasa (termasuk partai politik yang mendominasi pemerintah), maka semenjak undang-undang tentang penyiaran disahkan, TVRI dituntut melakukan perubahan total dan harus mampu melayani kepentingan publik. TVRI tidak lagi sebagai aparatus ideologi negara namun senantiasa bertindak demi kepentingan dan kelangsungan rezim yang berkuasa, tetapi lebih diberdayakan sebagai “public servant” (Littlejohn 2002:213). Meskipun diakui, media dalam hal tertentu bukan realitas yang netral dan bebas kepentingan, tetapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers 1994). Dalam bukunya Marxist Media Theory, Daniel Chandler menyebutkan media seringkali berfungsi sebagai alat produksi (means of production) dalam masyarakat kapitalis yang kepemilikannya berada pada kelas penguasa (Budiman 2007:41)
Sebagai televisi publik, berbagai program acara yang ditayangkan TVRI harus merefleksikan kepentingan publik. Demikian pula dalam pemilihan umum atau pemilu, baik legislatif, pemilihan presiden maupun kepala daerah. TVRI  tidak diperkenankan untuk berpihak kepada kepentingan partai politik tertentu atau sebaliknya. Konsep ini tercantum dalam Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 200 4  tentang pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3-SPS) adalah bebas dari tekanan, baik dari pihak pimpinan media, pemodal atau pemilik lembaga penyiaran (pasal 2 ayat 2) Demikian juga berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, penyiran harus adil dan proporsional, tidak bersifat partisan serta menyediakan waktu yang cukup untuk peliputan pemilu (Simamora 2010: 4).
Dengan pendekatan kritis dinamika ruang publik memang dipengaruhi oleh kapitalisme dan negara (birokrasi). Sebagai bagian dari sistem sosial musyawarah  sebagai tindakan komunikasi berinteraksi dengan subsitem lainnya yakni ekonomi dan negara (birokrasi). Birokratisasi dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan pada lembaga lain yang merupakan aspek-aspek informal kehidupan sosial. Birokrasi mampu menggantikan bahasa sebagai mekanisme pengatur (steering mechanism). Birokrasi tidak terutama mengandalkan hubungan antar manusia, tetapi antar bagian-bagian organisasi. Dalam hal ini kekuasaan sebagai sumber daya yang melekat pada hubungan beragam posisi dalam organisasi, telah menggantikan klaim-klaim dalam perintah melalui bahasa. Birokrasi bekerja dengan rasionalitas dengan sistem pengaturan dan kekuatan sendiri (self-propelling, self-regulating rationalization): tindakan rasional yang bertujuan, sebagai kekuatan obyektif yang terlepas dari maksud pelaku sosial. Legitimasi birokrasi diperoleh dari tatanan politis. (Sarwoprasodjo 2007: 38-39)  
Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media, menjadi ruang ekspresi yang tidak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang dilakukan oleh elit politik. Teknik pemasaran politik dengan mengemas citra sosok personal kerap digunakan dalam praktek politik pencitraan (politics of image) untuk menciptakan opini publik. Politik citra mendistorsi hubungan-hubungan langsung penguasa dan rakyat. Para elit politik akan terus membangun citra dan tujuannya hanya satu, yaitu mendapatkan kekuasaan (Sudrijanta, 2009:234). Tayangan Konvensi itu membuat masyarakat tidak memperoleh informasi yang lengkap mengenai partai politik lain. Bahkan masyarakat digiring untuk mendukung golongan atau partai tersebut. Kenyataan itu menunjukkan bahwa TVRI belum dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip TV publik ke dalam program siaran.
 Dilihat dari kaidah umum jurnalistik, kecenderungan TVRI memberikan porsi lebih besar dalam memberitakan kegiatan kampanye parpol-parpol besar sesungguhnya sangat beralasan. Bagi media massa, memberitakan kerumunan massa yang jumlahnya di bawah seratus orang dengan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu jelas memiliki makna yang sangat berbeda. Bagi lembaga penyiaran komersial tentu tidak ada salahnya jika argumen kebijakan penyelenggaraan siaran berita selama masa kampanye didasarkan sepenuhnya pada prinsip-prinsip jurnalistik yang konvensional. Akan tetapi bagi lembaga penyiaran publik seperti TVR[, kebijakan yang demikian tidak sesuai dengan prinsip-prinsip TV publik yang harus menjalankan fungsi edukasi. Di samping itu, IJU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD mengamanatkan kepada media elektronik dan media cetak untuk memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan  materi kampanye Pemilu. Berdasarkan amanat tersebut, dalam memberitakan fakta politik seperti kegiatan kampanye, mestinya yang dijadikan dasar pijak TVRI tidak hanya prinsip-prinsip jumalisme tetapi yang lebih penting justru pengutamakan: prinsip TV publik. TVRI mestinya mengutamakan prinsip keadilan, netralitas, obyektivits dan independensi.

Referensi:
Arifin, Anwar.Komunikasi Politik.Jakarta:Balai Pustaka
Armando,Ade.2011. Televisi Jakarta di atas Indonesia, Bandung : Bentang
Budiman, Kris.2007. Komunikasi dan Kekuasaan. Yogyakarta :FSK Fisip Atmajaya
Halomoan, Pappilon.2005. Multikulturalisme Membangun Harmonisasi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya
Masduki.2007.Regulasi Penyiaran Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: Lkis
McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory, Four Editions. London: Sage   Publications.
-----------------.2012.Teori Komunikasi Massa McQuail. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Sarwoprasodjo, Sarwiti.2007.Penggunaan Ruang Publik untuk Pemecahan Masalah Sosial di Pedesaan (Studi Kasus Gerakan Sosial Penolakan Taman Nasional Merbabu oleh SPPQT di Salatiga Jawa Tengah). Disertasi. Fisip UI
Simamora, Haposan.2010.Konstruksi Pemberitaan LPP TVRI Jateng tentang Pemilihan Walikota Semarang 2010.Tesis. MIKOM Undip
Saleh, Rahmat.2004.Potensi Media sebagai Ruang Publik. Jurnal. Fisip UI. Volume III/No 2 Mei-Agustus 2004 halaman 54
Sudibyo, Agus.2009. Kebebasan semu Penjajahan Baru di Jagat Media.Jakarta: Kompas Gramedia
-------------------.2004.Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LkiS
Sudrijanta. 2009. Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial. Yogyakarta: Kanisius


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja