Kenapa Harus NTT?

Sebuah petisi berisi ajakan untuk menghentikan iklan 5 tahun bisa versi lifeboy karena dianggap melecehkan rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT).  Dalam petisi ini disebutkan Iklan ini ditampilkan dengan  cara yang kurang bijak “Apa benar semua anak NTT terancam mati sebelum berusia lima tahun? Dalam iklan di sebutkan  “Belilah sabun lifebuoy supaya kita bisa menolong anak di NTT bisa merayakan ulang tahun kelima”.

Apakah dengan mencuci tangan akan mencegah anak lima tahun tidak meninggal? Toh, ajal ditentukan oleh Tuhan. Penyebab setiap orang yang meninggal dunia juga berbeda-beda, bisa karena sakit atau kurang gizi, bukan karena tidak cuci tangan. Meskipun data dari Unicef Indonesia menyebutkan NTT merupakan daerah tertinggi anak yang mengalami penderita diare. Tapi bukan jaminan bahwa  diare yang diderita anak-anak NTT karena tidak memahami cara hidup bersih.
doc:ist (Keindahan alam NTT)

Iklan ini telah dibahas sebulan lalu dalam suatu diskusi bersama dengan rekan yang berasal dari NTT.  Ternyata, Kehidupan di NTT tidak seperti yang ada di tayangan televisi. Bagaimana tidak iklan ini hanya menampilkan Desa  Bitobe sebagai desa binaan dan ini menjadi cerminan orang NTT. Layaknya daerah lain di Indonesia yang jauh dari akses perkotaan, kondisinya juga sebagian besar hampir sama seperti Desa Bitobe. Rumah kayu dan beratap jerami dan mungkin juga kekurangan air.

Seolah iklan ini ingin menunjukkan bahwa rumah kayu dan beratap jerami menunjukkan bentuk kemiskinan karena tidak sanggup memiliki rumah yang terbuat dari batu bata. Padahal secara geografis dan iklim, rumah seperti inilah yang cocok didirikan untuk tempat berlindung.

Lihat juga bagaimana wajah orang-orang Desa Bitobe yang ditampilkan. Dengan kulit hitam dan wajah seolah tanpa harapan hidup. Seolah-olah memberikan gambaran bahwa orang yang memiliki kulit hitam selalu berada pada garis kemiskinan.

Dalam konteks kolonialisme seperti yang dikatakan  Jackie Stace, hitam menyiratkan ketidakmakmuran, kekotoran, keburukan dan kebudayaan yang tidak beradab. Padahal orang-orang NTT  juga banyak yang berkulit putih dan hanya sebagian kecil yang berada di garis kemiskinan. Mereka hidup normal seperti layaknya orang-orang di daerah lain.
doc:ist (Rekan saya yang berasal dari NTT dengan latar pantai d NTT)

Iklan ini dengan jelas membuat  komodifikasi terhadap realita kehidupan  masyarakat NTT. Komodifikasi oleh Karl Marx disebut menjadikan segala hal bisa menjadi terukur. Mayarakat-borjuis- dalam hal ini pemilik modal mereduksi nilai-nilai kemanusiaan menjadi nilai ekonomis dan mereka menyeragamkan berbagai perbedaan yang mestinya menjadi karakter kehidupan sehari-hari.

 Wajah Bitobe menunjukkan wajah NTT secara keseluruhan dan menjadi komoditas yang bisa menarik minat penonton untuk mendonasi melalui produk yang dijual. Kenyataannya bukan hanya produk yang terjual tapi juga keseluruhan masyarakat NTT yang disinyalir miskin. Singkatnya, iklan ini memberikan kesadaran palsu bahwa NTT memang tertinggal.

Entah mengapa para pembuat iklan sangat tertarik untuk mengambil tema kehidupan orang-orang dari timur Indonesia. Parahnya lagi, justru iklan seperti ini yang  akrab di telinga masyarakat. Mungkin karena bahasa yang digunakan  seperti arus besar yang berani melawan bahasa dominan.

Bukan kali ini saja iklan yang mengatasnamakan ‘kemanusiaan’ mengambil latar tempat di NTT. Anda pasti familiar dengan kalimat “ Sumber air su dekat” iklan ini hampir sama dengan dengan setting NTT yang kekurangan air. Sama-sama menunjukkan bahwa NTT merupakan daerah yang gersang dan seperti tidak layak untuk dihuni.

Lihat saja iklan-iklan yang berlindung atas dasar kemanusiaan memilih NTT sebagai pijakan bahwa kemiskinan selalu ada di Timur. Bukankah kelaparan dan kemiskinan juga terjadi di kota besar seperti Jakarta, kenapa harus NTT?

Jika setuju dengan opini di atas tandatangani petisi di link berikut tandatangani petisi







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis