Jilbab Hitam, Sebuah Pencarian Identitas

Hampir setiap media sosial membahas jilbab hitam. Beberapa kalangan khususnya wartawan membahas ini sebagai kontroversi keberadaan jilbab hitam. Tak ada yang tahu keberadaan pemilik akun jilbab hitam yang menulis di salah satu media jurnalis warga. Ada yang setuju dan ada yang menolak mentah-mentah pernyataan si jilbab hitam.

Kasus ini pun menjadi perbincangan saya dan teman-teman mengenai jati diri jilbab hitam. Ada yang membahas serius ada pula yang menjawab dengan candaan. Terkhusus lagi beberapa teman saya yang kesehariannya berjilbab hitam. Hal ini memberikan sentimen pribadi jika menggunakan jilbab hitam dianggap terkait dengan penulis anonim tersebut. Secara tidak langsung penyebutan ini juga merujuk langsung kepada pemakai jilbab hitam. 
doc: ist

Saya tak perlu membahas jilbab hitam yang justru memperkeruh informasi. Jilbab hitam yang saya maksud adalah jilbab hitam yang riil jilbab hitam. Warna yang sering digunakan wanita yang berjilbab. 

Tak sedikit yang memakai jilbab hitam, entah karena warnanya yang dianggap netral atau warna jilbab tersebut yang dapat menyembunyikan debu karena tidak dicuci berhari-hari. Kekinian tak sedikit juga yang mulai meninggalkan jilbab hitam. Karena warna ini dianggap tidak dapat menyesuaikan dengan warna baju yang kian berwarna-warni. Baju yang berwarna disesuaikan dengan warna jilbab yang tidak lagi hitam.

Jilbab hitam tidak bisa mencirikan tren jilbab masa kini. Jilbab dengan beragam model dan warna berubah menjadi tren fashion yang update setiap saat. Jilbab sebagai tata busana penganut suatu agama justru dimanfaatkan untuk menaklukkan semangat keagamaan dalam dunia fashion dan bisnis. Penanaman ideologi tidak lepas dari pencarian jati diri pemakainya dari serangkaian pilihan-pilihan sulit. Jilbab berwarna atau jilbab hitam.
doc:ist

Dapat dipahami bahwa seseorang tidak dapat menjelaskan secara detail mengapa busana yang digunakan berbeda atau bahkan sama dengan orang lain. Misalnya, dalam sebuah pesta pernikahan kerabat calon mempelai, sepakat untuk menggunakan pakaian yang seragam. Kadang ddisertai dengan model jilbab dan warna jilbab yang bervariasi. Satu sisi, seseorang akan malu jika di sebuah pesta menemukan orang lain menggunakan kostum yang sama. Hal tidak terlepas dari sub kultur seseorang yang menganggap gaya busana menentukan penampilan sesorang. Tentu saja, jilbab hitam bukan pilihan yang tepat untuk suasana pesta seperti itu. 

Di satu sisi, jilbab hitam mungkin  sebagai salah satu pilihan agar dapat dikatakan netral. Apalagi menjelang pemilu, pemilihan warna sangat identik dengan  partai yang akan bertarung dalam pemilihan wakil rakyat. Salah warna alih-alih dikatakan pendukung salah satu partai politik. Padahal mengerti satu partai politik pun tidak. Karena hari ini model dan warna jilbab lebih penting ketimbang memikirkan calon wakil rakyat yang mungkin seperti si jilbab hitam. Netral dan tanpa identitas.




Komentar

  1. Padahal jilbab itemnya yg difoto ada dua yach...he..he...top bgt mba mif

    BalasHapus
  2. Tapi ga tau kenapa, aku malah jarang sekali pake jelbab hitam atau putih. Ga ada warna, jadi kesannya ga hidup aja. Soalnya, hidup ini kan penuh warna. Tinggal dipadu-paduin saja...hehehe :p

    Blogwalking Mifda....:D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis