Masih Ada Manusia Gerobak

Saya cukup kaget melihat dua orang yang dengan santainya tidur di atas gerobak. Satu perempuan dan satunya lagi laki-laki, entah mereka pasangan suami istri atau bukan. Mereka seolah tidak terusik oleh keramaian orang-orang dan sampah di sekitarnya, saya pun tak berani mengganggunya.
doc:ist

Mungkin mereka telah terbiasa untuk tidur di mana saja, di atas gerobak sampah dan pinggir jalan. Dari wajahnya mereka tampak kelelahan. Mungkin lelah setelah bekerja mencari barang-barang bekas yang terlihat diletakkan di sekitar gerobak mereka. Yah, saya hanya memperkirakan saja.

Saya kasihan dan hanya itu yang bisa saya lakukan seperti orang-orang di sekelilingnya. Memandangi dengan iba dan berlalu seperti tak terjadi apa-apa.

 Mungkin terlalu banyak melihat pengemis dan peminta-mintadi negeri ini, sehingga melihat orang lain mengalami kesusahan dalam hidupnya menjadi hal biasa. Cukup dengan berkata, saya mensyukuri apa yang saya miliki saat ini. 


Hal biasa juga ketika melihat banyak ibu-ibu dan anak kecil tidur di emperan pusat pertokoan di malam hari. Mereka hanya beralaskan kardus yang dipungut dari sisa bungkus barang di toko. Bagaimana mereka bisa hidup? Bagaimana mereka menjalani dinginnya angin malam? Bagaimana anak-anak mereka tumbuh yang kelak akan menjadi gadis remaja? Mungkin anak kecil itu juga lahir di jalan? Mungkin mereka telah terbiasa dan akan terus terbiasa. Lagi-lagi saya hanya mereka-reka.
doc:ist

Suatu ketika saya diajak seorang teman bertemu dengan seorang Bapak yang sehari-harinya berjualan pisang. Siang hari ia berjualan dan malam ia tidur di pinggir jalan. Meski matanya sudah agak rabun dan umurnya sangat menua, Ia tidak memiliki pilihan hidup untuk sekadar tinggal di bawah atap yang disebut rumah.

Saya teringat dengan film Pursuit of Happines, Chris Gardner bersama Christhoper harus tidur di rumah singgah Glide Memorial Chruch karena kehabisan uang. San Fransico termasuk negara maju yang memberikan kesempatan kepada tuna wisma untuk menempati rumah singgah. Cerita negara maju yang juga memperhatikan kaum urban.

doc:ist
 Di Indonesia rumah singgah sangat terbatas dan hanya ada pada daerah tertentu saja. Itu pun hanya didirikan oleh yayasan atau organisasi sosial.  Pada 2010 Badan Pusat Statistik  merilis data jumlah tuna wisma sebanyak 18.935 orang yang terdiri atas 12.753 laki-laki dan 6.182 perempuan. Jumlah ini bisa saja saja bertambah setiap tahun. Padahal dengan jelas dalam undang-undang diatur bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Tak perlu membahas undang-undang, saat ribuan tuna wisma tidak masih hidup di jalan-jalan, emperan toko dan kolong jembatan. Terlalu banyak teori dan aturan yang membahas mereka sehingga tidak tahu bagaimana agar mereka bisa tidur nyenyak di malam hari dan bekerja mencari nafkah di pagi hari. Saya punya impian, suatu saat ingin mendirikan rumah singgah untuk para tuna wisma. Tak perlu mewah, cukup tempat mereka beristirahat dan menikmati malam yang melelahkan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis