Keluarga Ustad di Media

Tak ada yang aneh jika merayakan hari kelahiran. Tak ada masalah juga jika melakukan syukuran atas nikmat umur yang diberikan Tuhan. Suatu kebahagiaan bila bisa merayakan bersama keluarga tercinta.

Hal yang menarik adalah  perayaan mantan istri alm Ustad Jefri yang diblow up oleh media. Acara surprise oleh “katanya mantan mertua” –seperti yang disebutkan sang mertua yang pernah menyebut istri alm Uje mantan istri- . Perayaan yang tak ada bedanya dengan kaum lain yang merayakan hari kelahiran. Surprise pada malam hari dengan kue tart dan beramai-ramai dengan kerabat dan keluarga sang Ustad. Selain itu, seorang kerabat yang memakai hijab dan sangat tertutup dengan sangat gembira menjawab pertanyaan dari pekerja media. Seolah-olah tak ada aneh, di tengah perdebatan boleh atau tidak boleh merayakan hari kelahiran.
doc:sciptmag.com

Hampir setiap stasiun televisi menayangkan momen ini. Istri Uje yang didatangi oleh mertua setelah perseteruan panjang. Belum lagi perbedaan pendapat tentang mewah atau tidaknya makam Uje berujung pada perbedaan pendapat di antara ulama.

Masalah yang justru menguntungkan media. Sedangkan aktor-aktor yang bertikai justru dari kalangan alim ulama yang seharusnya menjadi panutan. Media berhasil menuai keberhasilan dari pertikaian orang-orang yang dianggap ‘beragama’ karena ditonton oleh jutaan pasang mata umat muslim di Indonesia.

Nilai-nilai agama dan berbagai simbol agama berhasil dikomersilkan dalam berbagai bentuk tayangan media. Simbol agama sebagai sebagai sesuatu yang sakral untuk disampaikan di mana seharusnya memiliki batasan sendiri kini menjadi komoditas baru dalam penyajiannya. Simbol agama kini menjadi produk yang diproduksi secara massal dengan berbagai kemasan dengan tujuan berbagai kepentingan disesuaikan dengan selera pasar.

Mungkin saja ini fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam pemahaman masyarakat awam ustad dan keluarganya memegang prinsip kesederhanaan. Namun, dalam kenyataan kekinian telah banyak ustad yang memiliki harta berlimpah dan tak malu menunjukkan kepada masyarakat harta yang dimiliki. Prinsip tawadhu’ dalam agama seolah dilupakan. Mungkin juga, fenomena ini telah lama terjadi namun media belum menempatkan ini sebagai poin penting untuk disiarkan.

Melalui tayangan media disimbolkan, jika menjadi ustad akan menjadi kaya raya. Lihat saja beberapa ustad dan keluarganya yang ditampilkan di televisi. Mereka dengan senang hati menunjukkan rumah mewah dan kendaraan yang dipakai di depan layar kaca. Lagi-lagi, industri media menjadi panutan bahwa kesederhanaan bukan lagi menjadi pilihan.

Selain itu, ditampilkan seolah-olah yang bisa menjadi ustad adalah orang-orang yang memiliki wajah yang enak dipandang. Tak perlu pengetahuan agama yang mumpuni, yang penting disukai penonton dan menghibur. Cari saja ustad di acara dakwah yang sudah tua dan keriput dengan rating acara yang tinggi. Jawabannya tidak ada. Padahal, banyak diantara mereka memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.

 Media memproduksi berbagai budaya yang berkaitan dengan manusia, termasuk agama. Media ‘memaksa’ orang untuk mengeksploitasi seluruh sendi-sendi kehidupannya untuk dikonsumsi publik, tak mengenal ustad atau keluarga ustad. Seharusnya mereka menjadi panutan karena dianggap lebih mengerti filosofi tawadhu’. Bukankah begitu?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis