Banci Dipuji dan Dicaci

Tadi saya berniat membeli nasi goreng di warung. Sambil menunggu pesanan saya duduk di depan kursi yang memang disediakan utnuk pengunjung yang berniat untuk membungkus makanan. Saya pun duduk sambil menunggu antrian. Lamuana saya tiba-tiba buyar oleh seorang waria yang berdiri di depan saya sambil membunyikan krecekan. Iaa menyanyi dan sedikit bergoyang walau suaranya sumbang. Entah, lagu apa yang dia nyanyikan.

Saya pura-pura tidak peduli dan berusaha tidak melihatnya. Saya teringat dengan mitos di daerah asal saya, bahwa seseorang  jika melihat atau bertemu dengan waria akan mendapatkann sial dalam kurun waktu tiga hari Jum'at. Dengan kata lain selama tiga minggu kesialan akan terjadi. Sedikit percaya saya tak bergeming.

Saya teringat dengan waria yang lebih senang dipanggil bu Yuli. Masa lalunya ia bekerja sebagai guru PNS. Boleh dibilang kehidupannya tercukupi dan kelurganya juga dari keluarga baik-baik. Namun pencarian jati diri yang menyebabkan ia memilih menjadi waria dan meninggalkan profesinya sebagai PNS. Ia kemudian mengamen dari satu tempat ke tempat lain. Itulah jalan hidup yang ia pilih.

Waria di depanku masih saja bernyanyi. Saya juga heran kenapa dia terus menyanyi padahal tidak sedikit pengunjung yang juga ada di situ yang  memperhatikannya. Ia kemudian memintah receh. Saya mengeluarkan selembar recehan dengan pertimbangan uang yang di kantong hanya cukup membayar dua porsi nasi goreng. 

Saya tahu uang receh itu hanya sedikit untuk membuat waria itu bekerja dan bertahan hidup. Mereka mengamen dan memilih identitas yang mereka yakini. Tak seperti selebritis dan remaja saat ini yang bergaya kebanci-bancian untuk sekadar mengikuti tren.  Lihat saja di acara televisi, gaya kebanci-bancian sangat disukai tapi juga dicaci. Lihat gaya para pria metroseksual yang kini tidak bisa lagi dibedakan dengan gaya wanita, mereka bermake up tebal dan pakaian yang juga dipakai oleh wanita. Tapi, mereka tidak tidak mau disebut waria.

Pria, yang memilih jalan hidup menjadi waria. Toh mereka tidak tidak mencuri, meski banyak cerita miring tentang waria yang melacurkan diri karena tidak ada perusahaan yang mau mengakui identitas mereka. Padahal mereka juga butuh makan untuk hidup. Belum lagi identitas kependudukan juga hanya mengakui adanya jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan. Siapa yang menerima mereka? Mungkin tak ada. Mereka harus berjuang sendiri atas jalan hidup yang mereka pilih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis