Algojo Pembunuh Perbedaan

Kisah cinta beda agama sedang hangat-hangatnya di televisi nasional. Kisah cinta yang ujungnya entah kemana. Kisah cinta yang rasa-rasanya tak perlu dibesar-besarkan di media. Dan saya tidak tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

Hal yang menarik yang ingin saya tuiliskan mengenai sebuah portal berita online meliput parade Santa Klaus yang diikuti oleh umat muslim. Dalam berita itu dijelaskan bagaimana penggunaa jilbab yang notabene beragama islam ikut dalam  parade umat nasrani.  
doc:cicisilent.blogspot.com

Suatu bentuk apresiasi yang besar terhadap kelangsungan umat beragama. Salut dengan keberadaan orang-orang yang mau menghargai perbedaan.

Diakui menghargai perbedaan yang sangat sulit ditemukan di negeri ini. Hampir setiap kelompok saling bertikai untuk mempetahankan pendapatnya. Kebenaran mutlak bagi mereka yang termasuk dalam kelompok yang dipilih, di luar bagai musuh.

Tak mengenal ranah intelektual, seminar keagamaan yang bertujuan menggali pemahaman lewat diskusi ilmiah justru ditutup oleh kelompok yang berbeda pendapat. Belum lagi adanya pengusiran dan pembakaran rumah-rumah kaum minoritas. Padahal mereka menganut agama yang sama. Sangat Ironis.

Tirani selalu ada pada kelompok minoritas, kalimat ini dijewantahkan juga dalam umat beragama. Tak peduli saudara seiman jika berbeda pandang juga akan dilibas. Cerita yang menarik adalah pengakuan seorang algojo yang menumpas PKI pada tahun 1965 dalam buku berjudul“Pengakuan Algojo 1965”. Ia berani menerabas saudara sendiri demi pemahaman yang dianut. Sambil mengacungkan pedang ke saudaranya, ia berucap “meskipun kita bersaudara tapi ideologi kita berbeda”. Perkataan yang diucapkan algojo yang  hampir setengah abad yang lalu hampir sama  dilakukan oleh orang yang katanya beragama saat ini. Satu cerita lain, algojo yang tetap memotong leher korban meskipun korban mengucap syahadat yang sama dengan dirinya. Toh mereka beda ideologi.

Kesimpulan membaca liputan Tempo tersebut, bahwa sebenarnya agama bukan menjadi faktor dominan untuk ‘mempertahankan agama’. Saudara kandung bisa menjadi korban dari situasi ekonomi dan politik  yang tidak jelas. Tak sedikit kasus kekerasan yang menyebut dasar agama dan negara nyatanya hanya kepentingan penguasa. Peristiwa yang terjadi pada hampir setengah abad yang lalu, memiliki kemiripan saat ini, hanya saja namanya berbeda.

Sangat sulit memang menciptakan perdamaian di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Lagi pula, damai juga bukan tujuan akhir, karena damai tidak bisa menunjukkan bahwa sekitar kita baik-baik saja. Terkadang, dalam kehidupan diperlukan ‘chaos’ agar tahu damai itu seperti apa.



Tapi, inilah kenyataan yang terjadi. Tanpa diminta pun ‘chaos’ pasti terjadi. Secara alami, apalagi mempertahankan ideologi agama. Apalagi adanya pembiaran yang dilakukan pemerintah. Toh dengan adanya konflik juga menguntungkan penguasa.

Mengurai benang kusut perbedaan tak akan selesai. Terlalu banyak algojo yang akan mencari kesamaan dan membunuh perbedaan. Reinkarnasi algojo yang siap menerabas ideologi siapa pun yang berbeda. Algojo yang siap mati demi ideologi yang katanya benar. Mungkin saya atau Anda salah satunya?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis