Mereka Bilang Pemimpin Salah

Dalam suatu forum kepemudaan membahas pertikaian yang sering terjadi di suatu daerah. Pertikaian yang melibatkan  sejumlah kaum intelektual yang melahirkan tenaga-tenaga pendidik. Tiga pembicara, dua pembicara berasal dari daerah yang katanya sering berkonflik, satu dari pemerintah bidang penyelamat keutuhan negara. Masing- masing pembicara memiliki perspektif yang hampir sama bahwa kekerasan yang terjadi di tempat kelahiran dua pemateri tersebut karena kegagalan pemimpin di daerah untuk menciptakan resolusi konflik.

Kesimpulan yang benar tapi kurang tepat. Bagaimana tidak, konflik yang terjadi selama ini tidak bisa disimpulkan kesalahan dari satu pihak saja. Tak mudah menyimpulkan sebelum ada identifikasi dari akar permasalahan. Apalagi kesimpulan ini berdasarkan referensi dari tayangan di televisi dan media nasional yang menganut perspektif 'konflik adalah jualan'.
doc:unnaoche.wordpress

 Mungkin mudah mengatakan karena tidak bersentuhan langsung dengan masalah yang terjadi. Pernah suatu masa seorang pemimpin universitas memindahkan mahasiswa baru (maba) ke kampus berbeda karena maba dianggap salah satu pemicu perselisihan. Menteri mengancam menutup perguruan tinggi. Tapi, nyatanya ini tak menyelesaikan konflik. 

Saya tidak membenarkan kekerasan. Tapi, konflik yang terjadi melibatkan beberapa peristiwa bukan hanya karena kesalahan pemimpin, memperlihatkan betapa negeri ini tengah mengidap krisis kemanusiaan yang melahirkan anak haram dengan karakter masyarakat sakit- sakit sosial, sakit budaya, sakit politik, sakit ekonomi, sakit spiritual, sakit emosional dan sakit individual yang disebut Nekrofilius.

Nekrofilius disebut sebagai  mencintai kematian. Karakter nekrofilia punya ketertarikan yang amat sangat terhadap sesuatu yang mati, membusuk, tidak bernyawa, deskruktif dan mekanik. Segala sesuatu yang buruk dan menimbulkan kekacauan dan kekerasan orang bagi orang lain bukan lagi menjadi hal yang tabu.

Berbagai teori kekekerasan dijelaskan bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari struktur hidup sehari-hari seperti halnya udara yang dihirup, bahasa yang terucap atau air yang diminum. Sehingga, kekerasan dan perselisihan bukan lagi menjadi peristiwa yang luar biasa. 

Perilaku kekerasan dan konflik semakin menyentuh masyarakat di lapisan bawah bisa saja disebabkan  dari sikap egoisme yang tercermin  dari pemusatan berlebihan terhadap kepentingan pribadi. Orang berlomba-lomba membangun pemukiman mewah, apapun caranya. Ironisnya, justru ruang publik karut-marut, seperti jalan sesak dan penuh lubang. Logikanya, tak penting jalan diperbaiki yang penting mobil mewah. Toh, dalam mobil mewah, sesumpek apapun tetap asyik.

Maka tak aneh, jika di suatu daerah akan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan bandara jika pemimpin negeri ini ingin bertandang ke daerah yang dituju. Logika yang terbalik. Seharusnya, keadaan tak perlu dimodifikasi sehingga pejabat negara juga merasakan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Begitu pula seharusnya, pejabat negara tak perlu pengawalan di jalan raya agar merasakan bagaimana macet yang sebenarnya.

Perwujudan dari kesenjangan inilah yang menjadi keyakinan bahwa cara satu-satunya menyelesaikan konflik adalah dengan kekuatan dan kekerasan. Tak ada simpatik, konstruktif apalagi keteladanan. Manusia akhirnya hidup dalam krisis makna.

Pencarian makna dalam hidup berupa motivasi dan spiritual sebagian besar tidak terpenuhi. Agama sebagai pencarian jati diri pun telah terkooptasi yang juga melahirkan kekerasan. Egoisme pemimpin, egoisme kelompok, egoisme suku, egoisme suku menjadi lahan subur melahirkan jiwa-jiwa nekrofilius.

Tak semudah itu menyelesaikan konflik, saya pun tak berani memberikan solusi yang tepat untuk mengeralkan masalah yang ada. Saya tidak mau sok tahu dan pura-pura tahu ending dari setiap konflik yang ada. Saya bukan psikologi dan tak punya pengalaman menyelesaikan konflik kelompok. Saya pun tak berani mengambil kesimpulan atas siapa yang salah karena bukan pelaku sejarah. Belakangan ini, saya hanya pencatat langkah orang-orang yang mengumpulkan batu sebelum genderang perang dimulai...

referensi:
Idi Subandy Ibrahim buku Kritik Budaya Komunikasi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

(a)Susila di Negeri Raja

Dilema TVRI, Afiliasi Politis