(a)Susila di Negeri Raja

Apa saja yang Anda baca jika mencari sebuah berita? Berita politik?Kriminal? Atau berita asusila? Jenis berita yang saya sebutkan terakhir ini sangat disukai banyak orang. Lihat saja di media online jumlah orang yang membaca berita tersebut atau bahkan berkomentar. Berita tentang seksualitas dan perkosaan bukan lagi hal tabu untuk dibicarakan.

Sangat miris rasanya membaca berita di sebuah koran lokal yang menuliskan berita asusila di sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan. Apa yang terjadi sebenarnya di negeri arung (raja) tersebut? Sebagai orang Bugis saya tahu bagaimana adat dan gelar kebangsawanan masih dijunjung tinggi mayoritas orang di daerah tersebut. Apa mungkin adat telah hilang dimakan zaman? Belum hilang diingatan tentang seorang PNS yang melakukan tindakan asusila, kini ada lagi tujuh pelaku asusila. Isi berita di salah satu koran lokal.
doc:tabloidjubi.com

Berita tersebut tentu banyak dibaca orang. Dengan pemberitaan yang mencari sensasi dengan tujuan agar masyarakat tertarik untuk membacanya. Apalagi, dalam rentang waktu terakhir koran ini memang sering menulis berita yang bombastis. Judul dan isinya mengutamakan berita yang mengandung sadisme dan asusila disertai dengan gambar yang sangat menyolok.  Genre koran kuning (biasanya disebut) seperti ini pada dasarnya dicibir dan diminati masyarakat. Sebuah koran lokal di Makassar   memiliki kecenderungan untuk mengikuti genre dari koran kuning yang saya maksud di atas. Koran tersebut mengangkat tema-tema yang dianggap layak untuk menciptakan sensasi di masyarakat. Bukan hanya berita kriminal, berita perkosaan dan seksualitas pun menjadi jualan yang sangat disenangi redaksi agar dibaca oleh masyarakat. Dengan alasan penjualan mungkin saja berita asusila menjadi bahan tulisan yang akan meningkatkan oplah dan rating media.

Memang, seksualitas tidak pernah lepas dari tubuh manusia yang sifatnya privat, secara tidak langsung melekat dalam diri seseorang. Sehingga, memungkinkan adanya ketertarikan untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan seksualitas, termasuk berita yang mengandung unsur seksualitas. Penggunaan unsur-unsur seksualitas merupakan bagian dari penciptaan ilusi, manipulatif sebagai cara untuk mendominasi selera kultural masyarakat sebagai kendaraan dalam menciptakan keterpesonaan dan histeria massa. Membaca berita-berita perkosaan  akan memunculkan erotisme kebudayaan dan sensualitas otak, yaitu disaratinya otak dan kebudayaan oleh berbagai pikiran sensual. 

Masyarakat membaca dan memahami bahwa asusila yang terjadi seperti yang dituliskan dalam pemberitaan. Sedikit atau banyak berpengaruh, berita asusila di media akan berpengaruh kepada orang-orang  yang berdomisili dari daerah tersebut. Bagaimana tidak, pandangan masyarakat akan berubah dalam memandang status orang yang berasal dari daerah itu. 

Saya teringat beberapa cerita rekan-rekan saya yang sangat menjunjung tinggi adat dan kultur di sana. Bahwa untuk meminang perempuan harus mengeluarkan uang seratus hingga tiga ratus rupiah. Angka ini menunjukkan status sosial dan ekonomi perempuan yang ingin dilamar. Betapa tingginya adat yang mereka junjung untuk mensakralkan sebuah pernikahan.

Dengan adanya berita seksualitas di media tidak menutup kemungkinan masyarakat yang berada di luar daerah tersebut akan timbul kegamangan atas kepercayaan adat yang menjunjung budaya malu. Bisa saja muncul stereotipe bahwa perempuan yang tinggal di daerah itu juga memiliki perilaku yang sama dengan apa yang ada di pemberitaan. Budaya negeri para raja itu seperti mitos dan hanya dongeng belaka. Semoga saja tidak.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saraba atau Sarabba' Dialek yang Berbeda

Dilema TVRI, Afiliasi Politis