Bicara Saja Tentang Politik
Banyak calon presiden mulai kampanye. Mulai yang sekadar jual tampang sampai yang memaparkan visi misi. Berbagai cara ditempuh untuk menaikkan elektabilitas di mata masyarakat, padahal waktu kampanye sebenarnya belum dimulai.
KPI bahkan membuat pasal khusus tentang
siaran pemilu (pasal 50), yang antara lain mengharuskan media bersikap adil dan
proporsional serta tidak boleh bersikap partisan terhadap peserta pemilu. Maksimum
pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara
kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh)
detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye. Selain
dalam tayangan iklan, kampanye partai politik di televisi diduga muncul dalam
format pemberitaan yang tak berimbang dan jual beli program siaran.
doc:duniabembi.blogspot.com |
Terlihat
bahwa peraturan tersebut memang masih terkesan abstrak, namun tetap memberikan
kewenangan bagi KPI untuk secara berkelanjutan menjaga agar media penyiaran
tidak terjebak dalam sikap partisan berlebihan atau menjadi agen propaganda
yang tidak berimbang. Dalam hal isi iklan kampanye, aturannya sebenarnya cukup
longgar. Dalam UU ini, sama sekali tidak ada ketetapan yang melarang iklan
berisikan serangan dari satu kandidat pada kandidat pesaing. Yang dilarang
adalah penghinaan, tapi bukan kritik (sumber: ade armando.com).
Calon presiden yang memiliki media massa seperti televisi tentu sangat terbantu dengan adanya stasiun milik pribadi. Kampanye dibuat seolah-olah tanpa tendesi politik apa-apa. Nyatanya, pencitraan yang dilakukan juga tidak jauh dengan kampanye politik pada umumnya.
Partai politik besar yang tidak memiliki stasiun televisi tentu saja mengeluh. Pemberitaan yang berkaitan dengan partai politik 'merasa' tidak diwadahi oleh stasiun yang menjadi pemilik media. Tentu saja, Pemilik modal akan berpikir sesuai
dengan pola pikir sebagai pemilik modal.
Modal itu suatu bentuk
kekuasaan yang mampu mengontrol masa depan sendiri maupun orang lain.
Penguasaan terhadap pelbagai bentuk modal merupakan sebuah basis dominasi,
walaupun tidak selalu disadari atau disembunyikan oleh pemilik modal. Dalam konteks pencitraan calon presiden yang juga pemilik modal telah menyadarai pengaruh penguasaan modal untuk mencapai tingkat elektabilitas yang tinggi.
Calon presiden yang tidak memiliki stasiun televisi, tidak kekurangan akal. Media online dimanfaatkan dengan sangat ahli. Media sosial pun tak ketinggalan menjadi sarana untuk menarik perhatian masyarakat. Tak hanya media sosial, email pribadi pun menjadi sasaran untuk 'memperkenalkan' calon yang katanya layak memimpin Indonesia.
Hal ini sebenarnya sia-sia, secara sosiologis para calon ini tidak mampu menunjukkan kehidupan yang diinginkan oleh masyarakat. Hidup mewah dan bergaul dengan orang-orang 'elite' menunjukkan kelas yang berbeda dari rakyat yang akan dipimpinnya. Tak ada langkah kongkrit yang dilakukan yang dianggap 'berguna' oleh masyarakat. Tapi, juga akan sulit mengubah 'imej' yang pada awalnya sangat 'elitis' tiba-tiba berubah menjadi kaum pinggiran hanya karena ingin menjadi presiden.
Alhasil, secara psikologis akan masyarakat akan mudah menilai calon yang dianggap layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Para calon yang tidak mampu menunjukkan hubungan psikologis yang merakyat tak akan mendapat apa-apa meski telah menyasar akun pribadi masyarakat. Justru, penolakan dan ketidaksukaan yang muncul dari gerakan yang telah menyusup ke akun pribadi.
Komentar
Posting Komentar